Minggu, 18 Januari 2015

PROSES MASUKNYA ISLAM DI JAWA

Proses masuknya Islam merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa memiliki sejarah yang cukup lama. Berbeda dengan penyebaran Islam di luar Jawa yang relatif cepat, di Jawa Islam menghadapi suasana kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan kebudayaan. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme –dinamisme. Kedua, tradisi Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindhu-Budha yang diperhalus budaya lapisan atas (Zaini Muchtarom, 1997 :20-21).
Pada tahap awal kedatangan Islam di Jawa, penyebaran Islam tidak mampu  menembus benteng kerajaan Hindhu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah Islam yang damai dan.
mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima oleh masyarakat kecil, dengan jalan tersebut Islam mulai perlahan-lahan merembes wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedalaman.
Perkembangan Islam di Jawa dalam proses seiring diikuti mengalirnya kesusastraan Islam dari Aceh terutama pada abad 16 dan 17. Adanya hubungan yang sangat signifikan, Islamisasi pada saat itu mendorong berkembangannya sastra Islam Melayu. Sastra Melayu Islam yang berkembang merupakan mercusuar pemikiran intelektual. Proses Islamisasi Jawa sendiri semakin intens ketika mendapat pengaruh sastra Melayu Islam, dan kemudian melahirkan kepustakaan Islam Jawa. Mengalirnya kepustakaan Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Kepustakaan Islam Jawa ini berkembang dengan pesat ketika runtuhnya kerajaan Majapahit atau munculnya kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu dari pihak Wali Sanga dengan basis pesantrennya. Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat, suluk dan wirid. Kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam, Simuh namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988:9).
Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik (tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman  Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi inti ajaran yang sangat dihargai (Simuh, 2004 : 37).
Kepustakaan Islam Kejawen berkembang cukup intens ketika pusat-pusat pemerintahan berpindah ke daerah pedalaman. Berdirinya kerajaan Mataram Islam ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan istana sendiri berkepentingan mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para raja. Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation, sekaligus menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti Istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sebagai seorang raja besar, Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Beliau benar-benar bertindak sebagai narendra binanthara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana. Dalam rangka membangun koalisi permanen, dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan Tradisi Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka atau yang lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan sendirinya makin menyuburkan kepustakaan mistik Islam Kejawen. Selain itu, merupakan dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapatkan julukan sebagai pujangga besar. Karya-karya Sultan Agung misalnya Sastra Gendhing, Kitab Nitipraja, dan Serat Pangracutan.
Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam. Dari Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).
Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra, seni, budaya yang bermutan etika dan mistisme (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru) (Simuh, 1998 : 25).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar