Proses masuknya Islam merupakan suatu proses yang
sangat penting di dalam sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam proses
Islamisasi di Pulau Jawa memiliki sejarah yang cukup lama. Berbeda dengan
penyebaran Islam di luar Jawa yang relatif cepat, di Jawa Islam menghadapi
suasana kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh
karena itu perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan
kebudayaan. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian terbesar
yang masih dipengaruhi oleh animisme –dinamisme. Kedua, tradisi Istana yang
merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindhu-Budha yang
diperhalus budaya lapisan atas (Zaini Muchtarom, 1997 :20-21).
Pada tahap awal kedatangan Islam di Jawa, penyebaran
Islam tidak mampu menembus benteng
kerajaan Hindhu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan
bawah, yaitu daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya
melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah
Islam yang damai dan.
mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu
Islam mudah diterima oleh masyarakat kecil, dengan jalan tersebut Islam mulai perlahan-lahan
merembes wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedalaman.
Perkembangan Islam di Jawa dalam proses seiring
diikuti mengalirnya kesusastraan Islam dari Aceh terutama pada abad 16 dan 17.
Adanya hubungan yang sangat signifikan, Islamisasi pada saat itu mendorong
berkembangannya sastra Islam Melayu. Sastra Melayu Islam yang berkembang
merupakan mercusuar pemikiran intelektual. Proses Islamisasi Jawa sendiri
semakin intens ketika mendapat pengaruh sastra Melayu Islam, dan kemudian
melahirkan kepustakaan Islam Jawa. Mengalirnya kepustakaan Islam, ternyata
dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Kepustakaan
Islam Jawa ini berkembang dengan pesat ketika runtuhnya kerajaan Majapahit atau
munculnya kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu dari pihak Wali Sanga dengan
basis pesantrennya. Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan
Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis
kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa
misalnya: serat, suluk dan wirid. Kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam,
Simuh namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988:9).
Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama
kearifan sufistik (tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan
Jawa, untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa
zaman Hindhu. Sebaliknya dalam sastra
Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah atau sarana untuk
memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi inti ajaran yang
sangat dihargai (Simuh, 2004 : 37).
Kepustakaan Islam Kejawen berkembang cukup intens
ketika pusat-pusat pemerintahan berpindah ke daerah pedalaman. Berdirinya
kerajaan Mataram Islam ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann
Islam Kejawen. Kalangan istana sendiri berkepentingan mempertemukan tradisi Jawa
dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan
(legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra yang bukan
semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para raja. Sultan
Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut Ricklefs (1998 : 470),
Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada masanya kraton ditempatkan
menjadi leading agents of Islamisation, sekaligus menjadikan Islam sebagai
wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti Istana dijadikan pusat studi Islam
dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sebagai seorang raja besar, Sultan
Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya, sehingga
bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Beliau benar-benar bertindak sebagai
narendra binanthara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, memayu
hayuning bawana. Dalam rangka membangun koalisi permanen, dengan arif bijaksana
Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan Tradisi Kejawen dalam hal
penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun Jawa disesuaikan
dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka atau yang lebih dikenal
dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan sendirinya
makin menyuburkan kepustakaan mistik Islam Kejawen. Selain itu, merupakan
dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa.
Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapatkan julukan sebagai pujangga
besar. Karya-karya Sultan Agung misalnya Sastra Gendhing, Kitab Nitipraja, dan
Serat Pangracutan.
Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan
pertumbuhan Islam Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur
agama Islam. Dari Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu
digubah menjadi Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu
juga ada penulisan Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari
dewa-dewa Hindhu dengan riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).
Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta,
pertumbuhan kepustakaan Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas
dari krisis multi dimensi yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan
kerajaan ini terpecah menjadi empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton
Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualam. Para raja Jawa dan elite
pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kedudukan raja hanya
sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik dan hal ini mereka atasi
dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra, seni, budaya yang bermutan
etika dan mistisme (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan dalam lapangan
kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut G.W.J. Drewes
menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu masa
kebangkitan kepustakaan Jawa baru) (Simuh, 1998 : 25).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar