ANUGERAH SEPTEMBER 2009
Sinar mentari memantul menjelajahi celah-celah jendela kamarku. Minggu pagi yang. . .argch. .mungkin akan membosankan. Agenda Minggu tanggal 9 September ini ke GOR Atmajaya buat latihan Taekwondo. Dengan motor matic, kutelusuri jalan-jalan yang masih lenggang. Baru 3 bulan ini aku memakai motor matic karena aku sempat trauma dengan motor biasa. Saat kusampai di halaman GOR, kudapati anak seorang penyapu jalan. Ia merengek meminta dibelikan boneka tapi ibunya tak mau membelikannya dengan alasan tak punya uang. Sedih aku melihat kejadian itu.
“Sst…pagi-pagi gini dah pakai ngekhayal!” teriak temanku, El dari belakang.
“Ach bikin kaget orang aja, untung aku enggak jantungan. Pasti kamu sarapan banyak tho?” sambil kuambil hp dari tasku.
“Tau aja kamu. Ibu aku tadi masak special soalnya kakakku pulang dari Bogor,” katanya penuh semangat.
Suasana GOR mulai ramai karena jam telah mengarah ke angka tujuh. Latihan pagi ini berbeda dengan latihan biasanya karena latihan ini untuk persiapan lomba PON tahun 2009. Aku merupakan salah satu atlit yang akan ikut di salah satu cabangnya. Tak terasa latihan telah berjalan dengan cepat. Jamku telah tepat di pukul 11.00. Cuacanya amat panas, telah beberapa kali kuusap keringat yang keluar dengan tissue.
“Sya…boleh ngomong bentaran?” tanya temanku, Rendi.
“Ehm tentu boleh tapi maaf jangan lama-lama, soalnya aku ada les bimbel,” kataku sambil melirik jam.
“Boleh enggak kalau aku pinjem uang 500 ribu ke kamu? Aku enggak punya uang buat bayar sekolah,” katanya dengan wajah menunduk.
Tanpa berfikir lama, kuambil dompet dan kujulurkan uang 500 ribu kepadanya, “Aku kan temenmu, kamu enggak usah mikir aneh-aneh. Terima aja dan enggak usah diganti.” Lalu dia memelukku.
*****
Senin 10 September, ada banyak ulangan nih. Mulai dari TIK, Matematika dan Kimia. Fuuch, terima aja lah jadi anak kelas tiga yang harus UNAS. Dalam hatiku selalu muncul kata-kata LULUS…Amin. Tapi aku kok jadi inget soal Rendi pinjem duit! Dia kan punya beasiswa, kenapa dia harus bayar sekolah lagi? Tapi udahlah, aku juga ikhlas. Apalagi dia mantan aku. Jadi ada aja perlakuan istimewa buat dia.
“Hayo…dah belajar belum? Enggak usah jawab, kemarin kamu latihan dan enggak sempet belajar tho?” sambar temanku Rhe.
“Tuch tau, TIK asal kita sering pake computer pasti dong!” kataku dengan senyum meledek.
“Hari ini aku belum ngliat bronis kelas satu, enggak masuk ya?”
“Heh napa juga kamu ngurus dia, lha aku dapat bunga di laci dan yang ngirim namanya dia! Nama dia Taufik Arif tho?”
“Ach nanti kalau lihat dia berarti dia berangkat, ayo mau ulangan enggak?” tangannya menarik lenganku.
Bel pulang sekolah berbunyi, akhirnya ulangan ini berakhir juga. Beda dengan cuaca kemarin, hari ini mendung tapi belum hujan. Saat ku berjalan ke pendopo ada sepasang mata yang memandangku. Saat akan kubalas pandangan itu, dia telah menghilang. Kulangkahkan kembali kakiku ke tempat parkir. Baru tiga langkah, hujan telah turun, terpaksalah aku harus menunggu. Wah di pendopo sendirian, temen-temen juga udah pada pulang. Sampai ada suara yang menyapaku dari samping belakang.
“Belum pulang mbak?” saat kutoleh ke belakang.
“Och..belum, hujan…udah gitu aku enggak bawa jas hujan. Daripada sakit lagi, minum obat lagi, enggak masuk sekolah lagi, ketinggalan pelajaran aku.”
“Ehm..tadi pagi aku naruh bunga mawar putih di laci meja, udah di ambil?” tanyanya dengan terbata-bata.
“Udah, nih kan yang kamu maksud?”
Lama menanti akhirnya hujan pun reda. Daripada nanti hujan lagi, aku bergegas untuk pulang.
“Ech aku pulang dulu ya, hujannya udah mulai reda kok,” sambil ku beranjak dari tempat dudukku.
“Hati-hati ya,” dengan senyum manisnya.
“Iya, makasih.”
Entah apa yang dia lakukan, apa dia suka sama aku? Ach enggak mungkin, biarin aja, masa sich ada anak kelas satu yang suka sama anak kelas tiga. Langit mulai bersinar dengan warna keorange-orangenya. Indah banget.
*****
Hari Rabu, dimulai kicauan burung yang bersemangat menyambut pagi. Udara yang mengelilingi tempat tidurku juga masih dingin. Bunyi sms terdengar, kuraih hp yang ada di meja belajarku. Sms itu berisi
From : Arif XC
Bangun..bangun dah mau siang. Berangkat sekolah tho? Nanti berangkat agak pagian ya? Aku mau ngomong sesuatu, please banget. Bagi aku ini penting banget. Aku tunggu di mushola. Makasih…met pagi.
Ada apa ya? Tanpa berfikir lama, aku langsung saja menuju ke kamar mandi.
“Pagi-pagi banget mandinya?” tanya Ibuku di dapur.
“Biar enggak macet, Ibu bikin sarapan apa pagi ini?”
"Ada nugget, ayam goreng. Cepat mandi.”
Saat ku telah siap berangkat ke sekolah, lagi-lagi Arif sms menyuruhku cepat berangkat sekolah. Walaupun udara masih dingin, aku akan tetap menepati janji. Di tengah perjalanan, ku bertemu dengan Amru, dia adalah cowok yang aku taksir dari SD dulu. Dia menyapaku, langsung kuberi dia secarik kertas yang isinya..ya seperti surat seorang pacar yang lagi kangen. Mumpung ketemu dia, ya dimanfaatin dong.
Sesampainya di sekolah, ku menuju ke mushola. Arif duduk dengan cemas menungguku. Ada sebuah kado di sampingnya, dengan motif Winnie the pooh. Wah, dia tahu kesukaanku. Saat aku tepat ada di sampingnya, dia tersenyum lega.
“Waduh maaf agak lama, tadi ketemu temen di jalan, enggak apa-apa tho? Ada apa kok harus ketemu pagi-pagi gini di mushola lagi?” tanyaku dengan wajah binggung.
“Och enggak apa-apa. Aku cuma mau ngomong sesuatu. Aku boleh jujur tho, sebenernya aku naksir kamu. Sebelumnya kan aku jadian sama Dita, wajah dia kan rada mirip sama kamu. Pertamanya, aku kira nomer hp itu punya kamu. Makanya aku enggak mau nerusin hubungan aku sama dia.”
“Ehm, kamu yakin ngomong kaya gini? Kamu enggak kesurupan tho? Maaf aku belum bisa jawab sekarang. Aku jawab besok ya?” sambil kupegang tangannya.
*****
Pulang sekolah rasa-rasanya pengin tidur. Tapi kok tugas sekolah banyak banget. Bunyi telpon di hpku makin terdengar. Saat kulihat di layar hp, nomer baru, punya siapa ya? Langsung kuangkat.
“Ya hallo..dengan siapa ya?” dengan rasa penuh penasaran.
“Kok lupa sama temennya sendiri..kejam banget kamu!” katanya bercanda.
“Astaga..Amru, ech makasih dah mau ngontact aku. Aku seneng banget. Boleh tho aku bilang kaya gitu? Aku takut ada yang marah, ehm maksud aku si Heni!”
“Enggak usah bahas, dia cuma cewek yang enggak tahu terima kasih. Dia ternyata punya cowok juga di sekolah. Padahal dia dah tak percaya tapi malah kaya gitu.”
“Maaf..aku nyinggung perasaan kamu. Jadi aku punya banyak kesempatan dong buat jadi pacar kamu? Hehehe, becanda Am. Aku sekarang lagi binggung, boleh curhat enggak?” tanyaku berharap.
“Ya boleh aja dah lama juga aku enggak denger kamu ngomong panjang lebar. Emang ada apa tho?”
“Tadi pagi ada yang bilang suka sama aku! Aku belum jawab soalnya enggak enak ngomongnya ke dia. Dia adik kelas aku, masih kelas satu. Boneka dia masih ada di kamar aku.”
“Ya jujur aja kalau kamu enggak ada rasa sama dia. Ngomong-ngomong perasaan, aku juga sayang sama kamu. Aku pengin kita jadian dan enggak cuma sekedar sahabat.”
Semenjak telpon itu, aku dan Amru pacaran. Ach..impian besar yang terwujud and I’am so happy. Malam ini seperti ada di dalam surga. Bintang malam makin bersinar dan semakin bertaburan di langit. Begitu indah.
*****
Biasanya aku mengeluh kalau hari itu hari Kamis, soalnya pelajarannya ngebosenin banget. Tapi beda dengan hari ini, dah resmi jadian sama Amru jadi hari-hari aku seperti mimpi aja. Kumasuki gerbang sekolah, kudapati Arif telah ada di pendopo. Tanpa sadar, dia telah menjajarkan langkah kakinya. Dia mulai menanyakan tentang kejadian kemarin.
“Sebelumnya, aku berterima kasih karena kamu dah suka sama aku. Tapi maaf banget, aku enggak bisa terima. Aku enggak mau liat kamu diledekin sama temenmu gara-gara pacaran sama cewek yang lebih tua.”
Kulihat raut mukanya yang kecewa dengan jawabanku. Kuusap pipinya dan kukatakan jika dia adalah tipe cowok yang aku cari. Dan aku berbisik mengatakan I Love You padanya. Kubiarkan dia terpaku di tengah lapangan.
*****
Sepulang sekolah aku mencoba datang ke rumah Amru. Tak lupa, sekotak kue Brownis aku bawa untuknya. Sesampainya disana, perlakuan yang tak kusangka sebelumnya. Tepat di depan rumah aku di tampar oleh kakak perempuannya. Kue brownis yang susah payah kubeli, dibuang ke tempat sampah. Tanpa berfikir panjang aku meninggalkan rumahnya sambil menangis. Aku pulang dan bergegas pergi lagi ke tempat latihan Taekwondo. Aku tak mau mengontaminasi otakku dengan kejadian tadi.
“Kamu kenapa lagi Sya? Serius hari ini…kamu sakit ya? Ech iya udah denger tentang Rendi belum?” sambil mengulurkan minyak kayu putih.
“Hah ada apa El? Ehm dia sakit atau dikeluarin dari sekolah gara-gara belum bayar. Ceritain dong,” kataku gelisah.
“Dia kemarin overdosis dan sekarang masih opname di rumah sakit Grhasia,” cerita El dengan mengeluarkan air mata.
Latihan telah selesai, fuuch bulan depan lombanya. Deg-degan aku. Semoga berhasil. Saat aku masih menunggu jemputan ayahku, Arif mendatangiku dan menawarkan untuk pulang dengannya. Karena aku malas menunggu, aku mengiyakan tawarannya. Lima menit perjalanan, aku melihat kakak perempuan Amru yang telah mengusirku siang tadi berada di samping jalan. Aku meminta Arif berhenti, aku ingin beli juice alpukat kesukaanku. Saat menunggu antrian, aku melihat kakaknya Amru akan menyeberang dan kulihat ada mobil dari arah belakang. Aku langsung berlari ke arahnya dan mendorongnya ke sisi jalan. Namun malang, kaki kiriku tertindas mobil tadi. Arif membopongku ke sepeda motornya. Salah seorang warga menanyakan keadaanku, apakah baik-baik saja. Kami langsung menuju ke rumah sakit, Arif tahu jika aku kesakitan.
*****
Saat kubuka mata, aku telah berada di ruangan serba putih. Di sampingku ada banyak orang yang gelisah terlihat dari muka mereka. Arif langsung mengusap kepalaku dan mencium keningku. Ada dorongan yang membuat dia menyingkir dari sisiku.
“Kamu baik-baik aja tho?” tanya Amru sambil memelukku.
“Aku lagi enggak pengin liat kamu, kalian semua puas kan?” kupalingkan muka ke arah lain.
“Maksud kamu apa?” tanyanya dengan binggung.
“Kamu belagak enggak tau atau emang pikun?” kataku kasar.
“Aku enggak tau!”
“Bilang sama kakakmu, gara-gara dia…aku gagal ikut lomba PON tahun ini. Dan terima kasih buat kata-kata kasarnya tadi siang. Sekarang kamu keluar dari kamar ini.”
Tak terasa air mataku menetes dan mulai membanjiri pipiku. Seminggu kulalui di sebuah kamar rumah sakit, penat rasanya. Lomba tinggal dua minggu lagi. Apa aku bisa memberikan piala untuk orang-orang yang aku sayang. Ach..hanya perasaan kalut itu yang menyelimuti hati aku saat ini. Dua puluh satu sms dari Amru kubiarkan memenuhi kotak masuk di hpku. Matahari mulai menghilang dan berganti dengan langit kemerah-merahan. Suasana di dalam ruangan mulai gelap.
*****
Pagi ini hatiku tersenyum lega, aku akan pulang siang ini. Aku kangen dengan kamar bernuansa hijau muda dan tempat tidur penuh boneka Winnie the pooh. Tapi kakiku serasa kram dah susah tuk bergerak. Dokter menyuruhku untuk memakai tongkat penyangga selama waktu tertentu. Aku seperti orang yang cacat.
Selama dua minggu aku tak ikut latihan. Apa kata pelatihku jika tahu kakiku ini tak mampu berdiri! Aku tak ingin mengecewakan beliau. Tahun lalu aku hanya mampu memberikan juara dua Taekwondo se-Yogyakarta. Kumasuki ruangan GOR, langsung kudapati pelatihku yang sedang memberi pengarahan ke atlit lain.
“Pagi pak,” sapaku.
“Pagi juga,kamu belum sehat tapi kenapa ingin mengikuti latihan?”
“Aku tetap ingin ikut perlombaan itu, aku akan berusaha hingga aku mampu membawa piala untuk semua orang yang aku sayang.”
“Saya tidak memaksa kamu, karena kamu mau..saya ijinkan.”
Kucoba mengikuti latihan sore ini meskipun harus menahan rasa perih di kakiku. Pelatihku meminta supaya aku menyudahi latihan ini. Karena permintaannya, aku ikut saja. Kududukkan tubuhku di sebuah bangku panjang dan menghela nafas panjang. Tubuhku serasa membawa beban yang berat. Kucoba membuka lukaku, darah mengalir dan membasahi celana latihanku. Udara mengusap-usap luka kakiku, begitu dingin.
*****
Perlombaan itu dimulai. Aku masuk dalam kelas B1 dan sekarang adalah giliranku. Saat lawanku mulai dengan gerak gesitnya, aku coba melawannya. Namun saat kucoba topang badanku dengan kaki, rasanya aku tak mampu. Kulawan lagi dengan gerakan tangan tapi dia mampu menyingkir. Dia lepaskan gerakan kakinya ke arah kakiku yang sakit. Dan Oh My God..tepat di bagian tengah luka. Tetap akan kutopang tubuhku dengan kedua kaki ini. Aku bisa dan aku bisa. Kudekati lawanku saat dia berbalik arah dan satu gerakan yang cukup keras membuatnya jatuh tersungkur. Setelah itu, panitia mengatakan jika aku yang menang dalam permainan ini. Namun aku juga ikut jatuh tersungkur, kakiku berdarah hingga aku tak sadarkan diri.
“Kamu enggak apa-apa sayang?” sambil memelukku.
“Enggak apa-apa, kamu kenapa kesini? Apa keluarga kamu tahu, kamu udah minta ijin sama mereka? Am kok diem?” tanyaku binggung dan cemas.
“Mereka enggak hanya ngasih ijin aku kesini nemuin kamu, tapi juga minta kamu buat tunangan sama aku.”
Ada suara pintu terbuka. Keluarga Amru dan keluargaku masuk, mereka mendekat ke tempat tidurku. Amru mengeluarkan kotak berbentuk hati warna merah dari dalam jaketnya. Saat dibuka, dua cincin yang sama indahnya. Amru lalu memasangkan satu cincin ke jariku. Kulakukan serupa padanya. Keluarganya meminta maaf atas kejadian yang telah lalu. Kakaknya memelukku dan memohon agar tak meninggalkan Amru. Aku bahagia. Aku menemukan hadiah terbesar dari musibah ini. Terima kasih Tuhan karena hadiah terbesar ini. Akan selalu kuingat, hari-hari di bulan September 2009. Kisah sedih, kisah bahagia yang mengajarkanku dalam menatap hari dan selalu semangat meski halangan ada di depan kita. Tuhan memberi sesuatu setelah apa yang kita lakukan.
***END***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar