Minggu, 06 Maret 2011

TUHAN, KUATKAN VANIE

TUHAN, KUATKAN VANIE



    Pagi yang masih berembun membuatku malas beranjak dari ranjang tidurku. Sinar mentari menyilaukan mataku. Tiba – tiba bunyi SMS menggagetkan lamunanku. Pagi – pagi begini sudah memegang handphone, kurang kerjaan kataku dalam hati. Isi pesan SMS itu :
    “Ivone, berangkat pagi ya? Aku mau curhat nie..penting, penting banget!! Tapi Cuma kita berdua aja!! PENTING..!!”
    Belum selesai SMS itu kubaca, dering telpon Vanie membuat hatiku terkaget – kaget. Astaga! Anak satu ini membuatku binggung saja, kataku dalam hati. Kuangkat telpon itu dan suaranya mulai terdengar.
    “Please, cepet mandi dan berangkat sekolah! Aku mau curhat Von!” katanya setelah telpon kuangkat.
    “Iya tapi bentar! Aku baru aja bangun dan kamu pasti tahu, kalau aku belum mandi!” kataku malas menjawabnya.
    “Terserah! Pokoknya cepet berangkat, aku dah ada di sekolah. Aku tunggu kamu di aula!” agak memaksa.
    Sebelum akhirnya telpon ditutup tiba – tiba. Uch padahal baru akan ku jawab kata – katanya tadi. Apa yang mau dia certain, apa penting untuk dibicarakan pagi – pagi seperti ini. Ada masalah apa ampe dia kebakaran jenggot seperti ini. Biasanya dia berangkat siang dan biasa curhat saat pelajaran. Namun pagi ini tingkah lakunya membuatku cemas dan binggung akan keadaannya.
    Sepuluh menit kemudian aku telah rapi dengan seragam putih abu – abu. Dengan sepeda Polygon pemberian ayahku, kutelusuri jalan di kompleks perumahan kamboja. Sampai di gerbang sekolah, kudapati Vanie duduk termenung di aula sekolah. Setelah kuletakkan sepedaku di tempat parkir, kulangkahkan kaki ke tempat Vanie duduk.
    “Hai” sapaku.
    “Ya, Von kamu lama banget sich!” katanya dengan gregetan.
    Belum sempat aku duduk, dia menarik lenganku masuk ke dalam kelas. Dan dia duduk di salah satu kursi. Tanpa aba – aba ia menangis. Sungguh baru kali ini dia menangis di hadapanku. Apakah aku menyakiti hatinya atau dia punya masalah dengan keluarganya,,,,???
    “Ivone, aku binggunggggg!” sambil mengusap air matanya.
    “Katakan apa aja yang kamu ingat!” dengan raut mukaku yang binggung.
    “Bener Von, aku binggung mau cerita apa sama kamu!” katanya dengan binggung.
    “Kamu baik – baik aja? Aku liat mukamu pucat!” kataku iba.
    “Katakan apa aja yang kamu rasain saat ini, jangan dipendam lama – lama! Masalahmu itu bisa membuatmu gila. Aku disini dan berusaha buat bantu kamu. Karena kamu adalah sahabat terbaikku!”
    Namun apa yang terjadi sungguh diluar pikirku. Air mata Vanie makin deras hingga membasahi pipinya yang kuning langsat itu. Air matanya seperti hujan disaat angin badai meluluhkan semuanya.
    “Von, tapi kata – kata ini membuatku sedih untuk mengatakannya,” katanya pelan.
    Mendengar perkataannya itu malah semakin membuatku binggung dan penasaran. Aapakah aku bisa membantunya meski aku belum tahu apa masalahnya?
    “Aku ha..mii..ill Van!” suaranya terisak.
    Aku tak mampu berkata – kata lagi. Langsung kudekap tubuhnya yang sedari tadi gemetaran. Keringat dinginnya mengucur membuat tubuhnya makin dingin. Setahuku Rico adalah anak yang baik. Maklum saja, dia adalah anak kepala sekolah di SMA kami. Dia adalah anak yang sangat berprestasi dan tingkah lakunya begitu sopan. Isakan tangis Vanie memecah keheningan pagi ini. Angin pagi yang mendengarnya ikut pilu dengan menerbangkan kertas lusuh tanpa arah.
******
Semenjak kejadian itu Vanie seakan lenyap ditelan bumi. Dua hari tak ada kabar dan saat kuhubungi tak pernah ada jawabnya. Hatiku kalut dan tak tahu harus berbuat apa. Bel pulang berbunyi, kupercepat laju sepedaku agar cepat sampai di rumah Vanie. Kurapatkan sepedaku di halaman rumahnya. Saat kubunyikan bel, dari belakangku ada suara yang menyapaku, ternyata dia adalah pembantu di rumah Vanie.
    “Non Ivone mencari Non Vanie ya?” tanyanya dengan senyum ramah.
    “Iya bi, Vanie kemana? Dua hari enggak masuk sekolah dan enggak ada kabar!” kataku cemas.
    “Non Vanie di rawat di rumah sakit Mitra karena muntah – muntah dan sering pingsan!”
    Lalu aku pamit dan tanpa berkata lagi, kuraih sepedaku menuju ke rumah sakit Mitra. Keringat yang mengalir di tubuhku semakin mempercepat laju sepedaku. Dengan wajah gelisah, aku bertanya di bagian Administrasi rumah sakit. Langsung kucari kamar yang dimaksud perawat itu. Waktu daun pintu kudorong semuanya senyap. Kudapati Vanie tergeletak di tempat tidur rumah sakit dan tante Is yang setia menunggunya.
    “Ech Ivone, pulang sekolah ya?” Tanya Tante Is dengan wajah sendu.
    “Iya tante, Vanie bagaimana? Apakah dia baik – baik saja? Bibi bilang kalau Vanie muntah – muntah dan pingsan!”
    “Dia baik – baik saja, namun tante kecewa saat dokter mengatakan kalau Vanie saat ini hamil satu bulan!” sambil terisak ia coba katakan.
    “Sabar tante, yang penting Vanie baik – baik saja. Masalah itu selesaikan saja setelah Vanie sadar dan sehat!” kataku menghibur.
    Kudekati tubuh Vanie yang terkulai lemas, di wajahnya tergurat senyum. Meskipun orang – orang disampingnya sedang sedih melihatnya seperti itu. Akhirnya aku pamit, hari mulai gelap dan sebentar lagi sudah magrib. Aku tak ingin mamaku cemas karena aku Belem pulang. Langit senja memantulkan warna nan memukau. Angin sore mulai dingin hingga membuat orang harus memakai baju yang lebih tebal. Burung pun kembali ke pohon – pohon.
******
    Seminggu semenjak itu, Vanie mengabari jika tidak lama lagi akan menikah dengan Rico. Entah apa yang kurasakan saat itu. Aku ingin menyetujui tapi dalam hatiku terbesit rasa tak rela melihatnya nanti. Dia akan mengurus keluarga, mengurusi suaminya dan paling pilu adalah menimang anaknya yang terjadi karena kecelakaan berpacaran. Padahal ini hádala masa – masa yang paling disukai remaja. Pergi ke Mall, berkumpul dengan teman – teman dan menceritakan hal – hal unik. Tapi, mungkin ini memang jalan hidupnya yang harus ditempuh. Tak mungkin ada orang tua yang mau melihat anaknya melahirkan tanpa ayah bayi itu. Hatiku miris melihat fakta ini. Semoga bahagia Vanie…..karena hanya itu yang bisa aku beri buatmu. Dari nada bicaranya memancarkan kebahagiaan. Aku ikut senang Van, kataku dalam hati.
    “Von, di pernikahanku nanti, ratu yang paling cantil cuma aku! Iya kan?” katanya dengan bangga.
    “Pastinya, kamu…teman paling cantil yang aku punya. Tapi kamu harus tetep inget sama aku.! Jangan karena sudah nikah kamu sibuk sendiri!”
    “Ya ampun! Aku bakal ingat sama kamu. Kamu sahabat terbaik aku, Von!”
    “Nanti kalau mau casi nama anak kamu, ajak aku ya?!” kataku setengah tertawa.
    “Pastinya Von! Kamu juga termasuk dalam deret orang yang harus menemaniku waktu aku melahirkan.”
    “Iya….iya….Van, aku mau check up ke rumah sakit dulu. Kita lanjutin ngobrolnya kapan – kapan. Maaf ya, sekarang aku tak bisa temenin kamu!”
    “Ya sudah, hati – hati. Daa daa.”
    Hingga akhirnya telpon ditutup Vanie tepat di jam 16.00.
******
    Pukul 17.00 aku telah sampai di rumah sakit RISQA PUTRI. Rumah sakit yang biasa di datangi keluargakuvuntuk berobat. Maklum saja, dokter – dokter disini hamper semuanya mengenal papaku. Dan jangan heran jika mulai memasuki rumah sakit, perawat berseragam putih selalu tersenyum padaku. Seperti aku saja yang punya rumah sakit ini,,,,,hehe mimpi aja ya??
    “Mbak Ivone sudah ditunggu     Dokter Rommy di ruangannya.”
    Anggukan dan senyumanku seperti membalas perkataan perawat tadi. Dan perawat itu membalas dengan senyuman pula. Ternyata benar, Dokter Rommy duduk rapi di kursi kesayangannya.
    “Sore dokter!” sapaku dengan senyuman Manis.
    “Sore juga Ivone. Bagaimana keadaan papa mamamu, baik – baik saja? Sudah lama kami tak berjumpa,” sambil meletakkan bolpoin di meja.
    “Mereka baik – baik saja dan mengharapkan dokter mampir ke rumah, “ balasku.
    “Jika ada waktu saya akan sempatkan.”
    Dan waktu kuamati ruangannya, sungguh tatanan ruang yang artistik. Lukisan yang di pajang bernilai seni tinggi. Meskipun aku tak tahu bagaimana lukisan yang bernilai seni tinggi itu. Susunan bukunya Apia dan tangan pun akan lihai mengambil salah satu bukunya. Sampai pertanyaan Dokter Rommy menggagetkanku.
    “Ivone, kamu kenapa? Baik – baik saja maksudnya?!”   
“Ya aku baik – baik saja. Saya mau meminta resep obat,” kataku mengalihkan perhatian.
    Sebelum akhirnya aku keluar dari ruangan dengan wangi lavender yang begitu menggoda hidung. Hingga aku melihat seseorang yang amat kukenal. Dan benar saja, itu  Rico, pacar Vanie. Tapi ada urusan apa dia ke rumah sakit. Ingin kutanya tapi itu tak berpengaruh buatku. Kulangkahkan terus kaki jenjangku ke pelataran rumah sakit yang mulai terlihat gelap karena malam mulai beradu.
******
    Pagi ini burung bernyanyi riang. Pagi ini cerah dengan udaranya nan segar. Angin semilir membuka mataku yang masih  terkantuk. Embun masih enggan beranjak dari dedaunan. Aku pun juga malas bangun. Maklumlah tidur jam 02.00 pagi dan bangun jam 06.00 pagi, sunggguh menyiksa kedua mataku ini. Tapi aku harus bersemangat demi sahabatku, Vanie. Tepat di hari ulang tahunnya ini, dia akan menikah dalam keadaan hamil. Sedihnya…tapi itu juga karena cinta. Satu jam kemudian, aku telah rapi dengan kebaya cokelat pinjaman mamaku. Perkawinan akan dimulai nanti tepat pukul 10.00 di rumah Vanie. Ketika sampai di rumahnya, aku langsung menuju ke kamarnya. Memastikan apa dia baik – baik saja. Aku merasa ribet untuk berjalan ke kamar Vanie. Ketika kubuka pintu, pandanganku langsung tertuju ke dalam kamar yang ditata apik dan penuh dengan bunga.
    “Vanie, ehm. . .kamu cantik banget. Aku jadi iri sama kamu,” sambil kulempar senyum padanya.
    “Pastinya dong !! Aku kan cewek jadi ea cantik, mana mungkin aku ganteng ?? Ibu aku malah binggung kalau aku ganteng !”
    “Vanie sayang ayo ke depan !” kata tante Is saat membuka pintu.
    Akad nikah dan perkawinan dijadikan satu hari karena praktis. Pasangan yang amat serasi bagiku yang masih jomblo ini. Memang banyak orang yang mempertanyakan apalagi Vanie masih SMA. Tapi karena menghormati orang tua Vanie, mereka semua bertingkah laku biasa saja. Dan inilah resiko yang harus mereka hadapi. Vanie secara resmi keluar dari bangku sekolah, sedang Rico masih dapat bersekolah. Maklum saja, Rico adalah anak kepala sekolah di SMA kami. Hari yang bahagia ini ditutup dengan pelemparan bunga. Temaran lampu menambah romantis di malam ini.
******
    Delapan bulan sesudahnya tiba – tiba Rico menghilang. Rico hanya meninggalkan sepucuk surat dalam amplop merah jambu. Isi surat itu :

Yang tersayang,
Bukan maksudku membuatmu sedih, tapi aku tak bisa menemanimu selamanya. Tapi perlu kamu tahu..hanya kamu satu – satunya wanita yang aku saying. Kepedulianmu untukku membuat raga ini kembali bangkit. Cinta ini adalah kekuatan yang ada untuk selalu menjaga kita. Aku ingin hatimu slalu menjadi milikku. Kalau memang kamu mau melakukan itu. Jika anak kita lahir, aku mohon beri nama antara nama kita berdua yaitu Rivanie. Aku akan bahagia jira kamu juga bahagia. Aku sayang kamu. Aku sayang kamu sampai kapanpun.
                                Yang kau sayang

    Air mataku menetes saat Vanie mencurahkan perasaannya. Namur aku tak boleh menangis karena jika aku menangis, siapa yang akan membantunya. Tanpa kusadari aku melihat Rico di dalam sebuah ruangan. Hatiku mulai bertanya – tanya, jadi selama ini dia ada di ruangan ini. Ya…rauang UGD. Aku ingin mengabarkan ini pada Vanie. Tapi kenapa Rico ada di ruang UGD dan apa maksud suratnya itu ?? Sebelum akhirnya mamaku mengabarkan jika Vanie akan melahirkan. Dan langsung saja aku berlari ke ruang persalinan. Disana telah banyak yang menunggu, tante Is dan suaminya, mamaku dan pembantu keluarga Vanie. Dokter keluar dengan wajah binggung.
    “Ada pa Dok ? Anak saya baik – baik saja kan ?” tanya Tante Is dengan cemas.
    “Anak anda baik – baik saja tetapi belum melahirkan karena sekarang anak Ibu pingsan.”
    Tanpa aba – aba aku berlari. Aku harus sampai di ruangan Rico di rawat. Tepat, Dokter Rommy yang biasa menanganiku keluar dari kamar itu.
    “Dokter, kumohon bawa Rico ke ruang persalinan saat ini juga,” pintaku dengan menangis.
    “Tapi maaf Ivone, Rico masih….
    “Dokter !!” terdengar teriakan Rico.
    Tanpa kusadari Rico telah ada di sampingku dengan kursi roda. Dan kami bertiga menuju ke  ruang persalinanan. Semua kaget akan kedatangan kami.
    “Maaf yang namanya Ivone atau Rico diperbolehkan masuk tetapi yang lain belum diperbolehkan,” begitulah kata Dokter.
    Kudorong kursi roda Rico. Terlihat Vanie dengan wajah berseri. Kutempatkan Rico tepat di samping Vanie. Tangan mereka bergandengan untuk melepas rindu dan masalah yang mereka alami.
    “Aku akan menemanimu di moment spesial untuk kita berdua. Agar menjadi kenangan yang selalu kita ingat,” kata Rico dengan bersusah payah.
    “Terima kasih tapi kumohon sayang…temani aku selamanya.”
    “Pastinya, aku disini ada untukmu. Jangan pernah merasa kamu sendiri karena banyak orang disampingmu yang sayang kamu, Van!” katanya lagi.
    “Van kamu siap ? Berdoa dulu dan serahkan semua pada Tuhan,” kata Dokter saat memasuki ruang persalinan.
    Dengan kesabaran akhirnya seorang bayi perempuan yang manis telah ada disamping mereka. Rico mencium kening Vanie dan bayinya bergantian.
    “Kuberi nama anak ini, boleh kan ? Violiena Rivannie Putri, nama yang cantik untuk anakku yang cantik ini,” dengan terbatuk – batuk.
    Dan sebuah kejadian memilukan itu terjadi, Rico meninggal tepat saat bayinya lahir. Penyakit kanker otak dengan stadium empat membuatnya harus merelakan kebahagiaan di dunia untuk dilepasnya. Vanie beranjak dari tempat tidurnya, beserta anaknya dia peluk Rico. Sebuah cinta yang luar biasa dan banyak orang yang tak tahu itu. Sebuah energi positif untuk pelakunya saling berbagi dengan orang terkasihnya. Dan di telingaku terdengar alunan lagu Bukan Cinta Biasa yang dinyanyikan Afgan dengan magnet cinta yang begitu kuat. Cinta tidak akan pernah salah karena cinta begitu luar biasa.
***END***
by: Syayihatun A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar